Sri Mulyani, Nasionalisme, dan Tinju
Sri Mulyani Indrawati.
Wanita gagah dan cerdas. Panutan banget dehhhh!!
Ini ada tulisan yang pernah dimuat di Tempo mengenai Sri Mulyani. Bagus sekali untuk dibaca.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pittsburgh, 25 September 2009. Saya catat hari itu dalam ingatan.
Presiden Obama meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membagikan
pengalaman Indonesia dalam menurunkan subsidi bahan bakar minyak,
dalam forum amat penting G-20.
Kita ingat pada 2005 dan 2008, Indonesia menaikkan harga BBM
dan mengalokasikan subsidinya untuk rakyat miskin. Mungkin aneh bagi
sebagian di antara kita, mengapa kebijakan yang di dalam negeri dicaci
maki justru layak dijadikan contoh oleh negara anggota G-20.
Siang itu, Presiden SBY sudah bersiap memberikan paparannya.
Sayangnya, waktu dalam sesi makan siang itu amat terbatas, padahal ada
tiga topik yang dibahas, dan giliran SBY yang terakhir. Waktu habis
dan Presiden pun tak jadi bicara. Tentu kami semua-Menteri Keuangan
Sri Mulyani; juru bicara
Presiden, Dino Patti Djalal; Mahendra Siregar; dan saya-amat kecewa.
Kami berusaha meminta keterangan dari delegasi Amerika Serikat, tapi
jawabannya tak memuaskan. Mereka tentu tak berani menanyakan kepada
Obama.
Saya ingat Sri Mulyani setengah berbisik kemudian mengatakan,
"Kayaknya saya mesti ngomong langsung dengan Obama." Saya kira dia
bergurau. Tapi kemudian saya sadar, ia serius. Sri menghampiri
Presiden Obama yang baru memasuki ruangan setelah jeda makan siang.
Mereka berbicara berdua. Saya kebetulan berjarak sekitar dua meter
dari mereka, sehingga saya bisa mendengar percakapan tersebut.
Dengan terus terang-khas Sri Mulyani-ia menyampaikan kekecewaannya. Ia
mengatakan bahwa Presiden Obama sudah meminta Presiden SBY berpidato,
tapi waktunya habis. Karena itu, ia meminta Presiden Obama
menyampaikan maaf kepada Presiden SBY dan memberikan kesempatan di
sesi berikutnya. Saya terkejut. Presiden Obama-saya kutip dari
ingatan-tersenyum dan mengatakan, "Itu kesalahan saya, saya minta
maaf, akan saya berikan kesempatan di sesi
berikutnya."
Setelah itu, saya melihat Presiden Obama menghampiri Presiden SBY dan
berbicara berdua. Di sesi berikutnya, Presiden Obama meminta maaf
secara terbuka. SBY kemudian berpidato dengan sangat meyakinkan.
Bahkan, kemudian ada satu bagian dari komunike yang menganjurkan agar
kebijakan ini dicontoh anggota G-20.
Sri Mulyani kelihatan tersenyum. Sambil bercanda kami mengatakan
kepada Sri Mulyani, sebetulnya ia lebih cocok menjadi Menteri
Pertahanan!
Itu adalah contoh kecil dari kiprah Sri Mulyani di forum internasional.
Tentu naif bila kita menyimpulkan bahwa Indonesia berperan dalam G-20
hanya dari cerita itu. Yang jauh lebih serius adalah ketika pada
pembicaraan di tingkat Menteri Keuangan, Sri Mulyani memperjuangkan
pembiayaan stimulus fiskal bagi negara berkembang. Negara
berkembang-termasuk Indonesia-sampai September 2008, tumbuh relatif
tinggi. Namun krisis keuangan global telah membawa dampak yang dalam
bagi negara berkembang.
Untuk mengatasi itu, sisi permintaan-seperti resep Keynes lebih dari
70 tahun lalu-harus didorong. Dan ini mesti dilakukan di tingkat
global.
Masalahnya, tak semua negara, terutama negara berkembang, memiliki
kemampuan untuk membiayai stimulusnya. Dalam situasi krisis keuangan
global, akses terhadap pasar keuangan praktis tertutup. Kalaupun
terbuka, harganya amat mahal.
Di sini, usulan Indonesia agar dibentuk global expenditure support
fund diadopsi. G-20 sepakat mengguyurkan sedikitnya US$ 100 miliar
melalui Bank Pembangunan Multilateral untuk membantu bujet negara
berkembang, termasuk Indonesia. Selain itu, disediakan trade financing
US$ 250 miliar untuk
memulihkan perdagangan global.
Saya yang hadir di sana melihat bagaimana Sri Mulyani berdebat
mengenai hal ini. Ia begitu dihormati dan didengar oleh para menteri
keuangan lain, seperti Alistair Darling dari Inggris, Tim Geithner
dari Amerika, atau
Christine Lagarde dari Prancis.
Saya ingat bagaimana dalam diskusi, Sri Mulyani kerap diminta menjadi
pembicara pembuka. Saya catat, Darling atau Geithner di beberapa
kesempatan, setelah mereka bicara, berpaling dan
menanyakan, "Sri Mulyani, what do you think...."
Di sana, saya bangga menjadi orang Indonesia karena Indonesia
dihormati dan didengar dalam forum yang boleh dibilang paling penting
di dunia saat ini.
Sebab, Indonesia berani memperjuangkan nasib negara berkembang di pentas global.
Di masa lalu, sentimen nasionalisme kita kerap dibangun lewat tinju
atau bulu tangkis. Keindonesiaan kita menjadi begitu bergelora ketika
Ellyas Pical juara dunia, atau saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma
meraih emas
olimpiade. Atau di tempat lain, nasionalisme kita bergelora ketika
kita marah, atau terusik atau takut, lalu berteriak "awas asing".
Sri Mulyani membangkitkan kebanggaan akan Indonesia dengan cara lain.
Maka, bukan hal yang aneh jika Sri Mulyani ditawari posisi nomor dua
di Bank Dunia. Kiprahnya di dunia internasional memang membuat
Indonesia yang tadinya sunyi dalam pentas global menjadi berbunyi.
Kini, sentimen nasionalisme kita justru dibangun oleh Sri Mulyani
lewat perasaan dihargai dan dihormati, karena Indonesia didengar,
karena Indonesia mewakili emerging
economies memiliki peran mengatasi krisis global. Kita tak lagi
menjadi tawanan rasa rendah diri kita atau kita tak lagi melihat dunia
dengan kecemasan di tiap tikungan.
oleh : Muhammad Chatib Basri
(Mantan anggota staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani dan mantan Deputi Menteri Keuangan untuk G-20)
0 comments:
Post a Comment