Jun 16, 2010

Leo: Dari Penerawangan Andra R. Muluk


L E O

Kata Kunci : I WILL, Inilah yang aku inginkan.

Lambang Zodiak : Lambang Singa. (The Lion).

Tipe Zodiak : Maskulin.

Elemen : Api.

Planet Pengendali : Matahari; Sifat yang dinamis, penggembira, spekulatif dan petualang asmara..

Warna Dominan : Warna Emas (Matahari).Oranye dan warna-warna cerah.

Kekuatan/Kelemahan : Daerah Punggung, Pinggang dan Jantung.

Penampilan Umum :

* Mudah dikenali dari sifat yang suka bergaul, senang humor dan suka kumpul dengan teman. Mereka juga dikenal sebagai orang yang aktif dalam berorganisasi.

* Sebagai warga zodiak elemen tanah mereka punya pendirian yang teguh, tetapi kadang-kadang bisa berubah secara mendadak tanpa dia sendiri menyadarinya.

* Pesta dan acara kegembiraan lainnya sering menjadi lebih meriah bila ada warga Leo. Mereka juga dikenal sebagai petualang asmara dan ada juga yang sering gonta-ganti pasangan sebelum menentukan pilihan hatinya.

* Mereka juga termasuk orang yang menyukai olahraga dan kadang disertai taruhan.


Penyakit :

* Gangguan pada daerah Punggung dan Pinggang.

* Ada juga yang suka mengalami gangguan pada daerah Betis dan sekitarnya. Persendian di kaki terutama Lutut juga bisa mengganggu warga Leo.

* Penyakit lain yang suka mengganggu ada juga yang sering mendapat gangguan di sekitar Dada dan Perut karena pengaruh Cancer yang merupakan zodiak terdekatnya. Sedangkan dari pengaruh Virgo, yang juga zodiak di dekatnya, adalah gangguan pada daerah Perut dan sistim syarafnya.
Continue reading Leo: Dari Penerawangan Andra R. Muluk

Jun 14, 2010

Sapardi Djoko Damono's Poem

SDD atau Sapardi Djoko Damono adalah seorang tokoh budaya Indonesia. Beliau dikenal dengan puisi-puisinya yang sangat indah. Saya mau berbagi beberapa puisi beliau yang saya suka. Sederhana tapi menyentuh banget. Terima kasih, Pak Sapardi :)





"Sajak-sajak Kecil tentang Cinta"
mencintai angin harus menjadi siut,
mencintai air harus menjadi ricik,
mencintai gunung harus menjadi terjal,
mencintai api harus menjadi jilat,
mencintai cakrawala harus menebas jarak,
mencintaimu harus menjelma menjadi aku.



“Hujan Bulan Juni”
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu,

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu,

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.



"Di Restoran"
Kita berdua saja, duduk.
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput, kau entah memesan apa.
Aku memesanbatu di tengah sungai terjal yang deras, kau entah memesan apa.
Tapi kita berdua saja, duduk.
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.
Continue reading Sapardi Djoko Damono's Poem

From GM.. inspiring note


’In the Wee Small Hours’
Caping: Senin, 06 Oktober 2008
IZINKAN saya menulis tentang dinihari. Tentang jam-jam para insomniak, ketika malam sudah tak bisa disebut malam tapi pagi belum datang. Tentang orang-orang yang tak tidur, seperti kau dan aku, tak bisa tidur, mereka yang terpekur atau bengong atau bekerja apa saja, berdoa apa saja, mereka yang mencoba melupakan kesendirian, atau justru memasuki kesendirian.

Izinkan saya menulis tentang gelap. Dinihari adalah saat ketika gelap, yang berhimpun sejak senja, akan berakhir. Tapi di dinihari pula gelap seperti tak hendak pergi. Justru (sebuah e-mail datang dan kamu mengingatkan saya, mengutip Paulo Coelho), ”saat paling gelap dalam seluruh hari adalah menjelang terang.” Agaknya pada diniharilah gelap adalah sebuah ajektif bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah sesuatu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang akan bersama kita sesudah cahaya.

Kesementaraan, juga kelebihan. Barangkali kedua-duanya yang membuat dinihari mempertautkan manusia dengan yang kekal. Di biara yang jauh dari keramaian, para rahib bangun pukul 03.30 pagi. Masing-masing melakukan doa pribadi di bilik yang sempit. Pada pukul 04.00, misa bersama mulai.

Dan selama Ramadan, makan sahur dilakukan di saat itu pula. Orang bisa mengatakan, fisik kita perlu dijaga dengan beberapa suap nasi sebelum puasa 12 jam. Tapi jangan-jangan semua itu bukanlah buat kesehatan—makan di jam seperti itu justru tidak membantu metabolisme tubuh—melainkan buat merasakan hubungan antara yang indrawi, yang badani, dan transisi saat. Ketika kita tahu hidup begitu sejenak, kita pun akan bertanya adakah segalanya juga fana—dan tidakkah pengertian tentang ”fana” hanya bisa dimengerti jika ada yang ”bukan-fana”, jika disandingkan dengan yang abadi? Meskipun yang abadi tak pernah kita alami?

Dalam gelap dinihari, jika yang abadi bisa terasa hadir, mungkin karena ada hubungan antara keabadian dan kuasa, dan ada hubungan kuasa dengan misteri. Ia tak pernah bisa ditebak. Ia semacam peringatan akan apa yang kurang pada kita—yang menyebabkan kita selamanya terbelah, antara kini yang rapuh dan kelak yang tak jelas, antara kini yang hadir dan kelak yang kita tak pernah tahu.

Justru karena dinihari juga akan berhenti. Ia juga bagian dari keterbatasan dan kesementaraan. Gelap tak bisa mutlak. ”Aku tak takut gelap,” kau bilang. ”Dalam gelap aku bisa menemukan kedamaian.” Tapi mungkin juga karena kita temui gelap tak sendirian: ia sebuah beda, ia sebuah intermezzo di dunia yang diberondong cahaya. Ada cahaya surya yang tua, ada cahaya yang dibikin Thomas Alva Edison, ada cahaya bintang yang sporadis, ada kilau lampu-lampu iklan yang kian agresif. Maka gelap adalah selingan dari terang yang gaduh. Kita tahu terang telah jadi bagian dari proyek manusia menguasai bumi—yang tak membuat kedamaian hal yang lumrah.

Tapi tak selamanya gelap sebuah intermezzo. Ia bisa jadi awal putus harapan. Pada 1815, lebih dari separuh abad sebelum Krakatau, sebuah gunung di Nusantara meletus. Sampai setahun berikutnya, debu yang muncrat dari kepundan Tambora itu menutupi langit. Matahari terkurung cadar tebal. Bulan padam. Di Eropa, tahun berikutnya semacam perubahan cuaca terjadi. Tahun itu kemudian diingat sebagai ”tahun tanpa musim panas”. Pada tahun itu pula penyair besar Inggris Lord Byron menulis sebuah sajak yang memukau, Darkness.

…dan bintang-bintang

menggelandang di ruang kekal

tanpa sinar, tanpa jalur,

dan Bumi yang dingin

bergoyang, buta…

Terkurung gelap debu Tambora itu, pagi datang dan pergi, tak membawa siang. ”Morn came and went—and came, and brought no day.” Dan ombak mati, pasang berdiam di kuburnya, sementara Bulan, ”tuan putri mereka, telah padam sebelumnya.” Angin pun lingsut di udara yang tak bergerak, awan musnah. Tapi, tulis Byron, ”Gelap tak perlu bantuan dari mereka. Gelap adalah Alam Semesta itu sendiri. She was the Universe.”

Sedikit berlebihan, tentu saja, seperti setiap sajak. Sebab selalu ada jarak antara alam semesta dengan gelap dan terang. Itulah sebabnya dinihari begitu penting: perbatasan; transisi; pertemuan dua hal, momen perbedaan, momen ketidakstabilan, tapi juga keterbukaan.

Mungkin itulah kita bisa saling merindukan—kita yang lain, kita yang beda, kita yang mungkin belum pernah bertemu. Di jam-jam awal dari hari, di dinihari, ketika kita dengarkan dengan sedikit tergetar oleh kangen yang tak terelakkan Sting menyanyi, ”In the wee small hours of the morning.” Dan kita dengar trompet Chris Botti meningkah, dan terasa, semua yang akan berakhir sejenak seperti sesuatu yang abadi.

Goenawan Mohamad
Continue reading From GM.. inspiring note